June 5, 2013. Javan Pangolin (Manis javanica) is one of the unique mammals. Pangolin has similarities with reptiles. The body is covered by scales derived from the skin, except on the ventral body. When it feels threatened, pangolins can spray the smell of anal gland, and the body can roll into a ball. These are some of the unique biology of pangolin which was revealed at the National Seminar on “Pangolin, Know Them Well, Treat Them Right” organized by the Association of Veterinary Students (Himpro Satwaliar), Faculty of Veterinary Medicine, Bogor Agricultural University in the Andi Hakim Nasution Auditorium, Dramaga, Bogor (6/1).

Trenggiling Jawa: Biologi, Konservasi, Perawatan dan Perburuan Ilegal

5 Juni 2013. Trenggiling jawa (Manis javanica) merupakan salah satu mamalia yang unik, memiliki kemiripan dengan reptil, yaitu tubuh ditutupi dengan sisik yang merupakan derivat kulit, kecuali pada bagian ventral tubuh. Dalam keadaan terancam trenggiling akan menyemprotkan bau dari kelenjar anal dan dapat menggulung tubuhnya seperti bola. Demikian beberapa keunikan biologi trenggiling yang terungkap pada seminar nasional tentang “Pangolins; Know Them Well, Treat Them Right” yang diselenggarakan oleh Himpro Satwaliar FKH IPB di auditorium Andi Hakim Nasution, Dramaga Bogor (1/6).

Seminar terselenggara atas kerjasama Himpro Satwaliar Fakultas Kedokteran Hewan IPB dengan Kementrian Kehutan RI, Lembaga Ilmu Pengetahua Indonesia (LIPI), Wildlife Conservation Society (WCS), D’ alton Project, Taman Safari Indonesia, BEM FKH, WCC Veteriner, Centium copy center, Dr.com, Naik gunung.com, dan beberapa media partner yaitu: Green TV, Seputar Kampus, Koran Kampus, Radar Bogor, Web FKH dan Web IPB. Seminar dihadiri oleh mahasiswa pemerhati satwa liar dari Universitas Airlangga, Universitas Wijaya Kusuma Surabaya, Universitas Brawijya, Universitas Negri Jakarta, FKH IPB, Fakultas Kehutanan IPB, Paramedik Veteriner, Pasca sarjana Biologi, Biofarmaka, Puslitbang, Peneliti, LSM dan masyarakat umum.

Acara dibuka oleh drh. Srihadi Agungpriyono, PhD, PAVet (K) selaku dekan Fakultas Kedokteran Hewan IPB. Dr. drh. R. P. Agus Lelana, SpMP, M.Si sebagai pembina Himpro Satwaliar dalam sambutanya menyampaikan konsep One Health terkait dengan penyakit zoonosis yang sebagian besar bersumber dari satwa liar merupakan penyakit yang bersifat emerging dan reemerging disease. Hal ini perlu menjadi perhatian dari berbagai elemen masyarakat dan pemerintah, salah satunya melalui forum ilmiah seperti seminar.

Seminar dipandu oleh Dr. Ir. Burhanudin Masyud, MS dan menghadirkan narasumber Prof. Dr. Ir. Hadi S. Alikodra, MS (Guru Besar Fakultas Kehutanan IPB), Dr. drh. Chairun Nisa’, M.Si, PAVet (dosen dan peneliti trenggiling FKH IPB), dan Prof. (R) Dr. Gono Semiadi, S.Pt, M.Sc, PhD (LIPI).

Konservasi Sumber Daya Alam (SDA) dan Lingkungan: Pendekatan Ecosophy

Ecoshopy merupakan suatu pendekatan yang mengintegrasikan dimensi intelektual, dimensi spiritual, dan dimensi emosional. Dimensi intelektual berarti umat manusia diminta secara terus menerus mempelajari, meneliti,  memahami dan menghargai alam lingkungannya. Dimensi spiritual berarti mempercayai bahwa SDA diciptakan oleh Tuhan YME, perlu dilindungi dan dijaga kelestariannya karena berfungsi untuk mendukung kehidupan manusia, dan dimensi emosional bermakna dalam membentuk manusia beretika dan bermoral bagi terjaminnya kualitas hidup manusia dari generasi ke generasi.

Prof Alikodra dalam presentasinya memaparkan bahwa bumi Indonesia menghadapi krisis yang mengancam kelangsungan seluruh penghuninya. Hal ini dapat dilihat dari semakin berkurangnya cadangan SDA, dan hilang/musnahnya sumberdaya hayati baik ekosistem maupun spesies flora dan fauna. Kerusakan habitat ini disebabkan oleh keserakahan manusia dalam mengekploitasi alam dan sumber daya hayati.

Contoh nyata upaya penyelamatan bumi melalui pendekatan ecoshopy yang sangat sederhana misalnya dengan menanami pekarangan rumah dengan tanaman-tanaman yang disukai satwa (misal burung). Hal ini telah dilakukan oleh walikota surabaya dalam program penanaman bakau di pesisir pantai timur. Upaya ini telah berhasil mengundang burung dan satwa-satwa lainya berdatangan karena disana terdapat sumber kehidupan bagi satwa-satwa tersebut.

Biologi dan Keunikan Trenggiling

Dr. drh. Chairun Nisa’, M.Si, PAVet menyampaikan topik mengenai biologi trenggiling. Trenggiling jawa (Manis javanica) merupakan mamalia yang sangat unik. Secara morfologi satwa ini memiliki kemiripan dengan reptil, yaitu tubuh ditutupi dengan sisik yang merupakan derivat kulit kecuali pada bagian ventral tubuh. Keempat kakinya pendek, bersifat plantigardi dan memiliki kuku cakar. Berat badan trenggiling asia dapat mencapai 3-10 kg. Daun telinga kurang berkembang  pada trenggiling asia dan tidak mempunyai daun telinga pada trenggiling afrika.

Trenggiling juga memiliki perilaku yang unik yaitu mencari makan dengan mengadalkan penciuman dan lidah yang dapat menjulur panjang dan ludah yang lengket sehingga dapat menjerat semut dan dapat menggali serta memanjat pohon untuk mencari makan.

Struktur sisik yang tebal dan kuat serta perilakuyang tidak mudah dilepaskan dapat melindungi bagian tubuh ventral yang tidak ditumbuhi sisik dari gigitan satwa pemangsa. Perilaku ini memberi kemudahan dari manusia untuk menangkapnya.

Keunikan lain yang dimiliki trenggiling yaitu adanya pyloric teeth, keratin yang tebal dan kelenjar dalam struktur lambung. Sehingga lambung berfungsi sebagai peencernaan mekanis dan enzimatis karena trenggiling tidak memiliki gigi.

Perawatan dan Kesehatan Trenggiling

Topik mengenai perawatan dan kesehatan trenggiling jawa disampaikan Prof. (R) Dr. Gono Semiadi, S.Pt, M.Sc, PhD.  Pakan utama trenggiling yaitu kroto (telur dan larva) dari semut rangrang menjadi salah satu masalah dalam perawatan rutin dikarenakan pertama mahal, kedua fluktuasi saat masuk musim penghujan sangat susah. Sehingga diperlukan improvisasi pemberian pakan.

Perawatan dipenangkaran dibuat mirip dengan habitat aslinya. Trenggiling ditempatkan pada ruangan yang cukup luas yang dilengkapi dengan kayu gelondongan, sarang dan dua sumber air yang berbeda. Kayu gelondongan berfungsi untuk memanjat sedangkan sumber air berfungsi sebagai tempat minum dan buang kotoran. Trenggiling memilki kebiasaan unik yaitu membuang kotoronnya pada satu tempat yang ada airnya. Mereka akan memilih sendiri tempat mana yang akan dijadikan sebagai “toilet” atau sebagai tempat minum.

Trenggiling memiliki adaptasi dari rasa takut selama 3 hari pada saat ditempatkan di kandang penangkaran (berdasarkan pengalaman). Setiap 2 jam sekali badan trenggiling dispray dengan air secara halus untuk melembabkan tubuh dan bila terlihat aktif menjilat tubuhnya maka mulai diberikan minum. Pakan kroto diberikan bertahap, dengan mulai memperkenalknanya sedikit demi sedikit ditempelkan di dekat mulut. Selanjutnya trenggiling dibiarkan sendiri untuk memberi kesempatan berdaptaasi.

Perburuan dan Ilegal Trading Trenggiling

Dwi Nugroho Adhiasto dari Wildlife Crime Unit, Wildlife Conservation Society-Indonesia menyampaikan tentang Modus Perburuan dan Jaringan Peredaran Ilegal Trenggiling. Harga daging trenggiling di pasar internasional bisa mencapai 112-200 US dollar atau sekitar satu juta rupiah per kg. Sementara itu, harga jual di restoran bisa mencapai 210 US dollar atau sekitar dua  juta rupiah per kg. Sedangkan sisiknya dihargai sebesar 1 dollar per keping. Pengumpul lokal di Indonesia biasanya akan mendapat bayaran sampai 250 ribu rupiah untuk setiap kg daging trenggiling.

Harga jual yang menggiurkan inilah yang membuat banyak orang memburu trenggiling yang hidup di Indonesia (juga di Malaysia dan Thailand) untuk diekspor daging dan kulitnya (sisik) secara ilegal ke para peminat di luar negeri, antara lain ke China, Singapore, Thailand, Vitenam, dan Laos.

Menurut berbagai sumber, daging trenggiling tersebut digunakan sebagai bahan kosmetik, obat kuat, dan makanan di restoran, sementara kulitnya untuk bahan pembuat shabu. Hal ini telah dibuktikan secara ilmiah oleh peneliti dari LIPI bahwa sisik trenggiling mengandung tramadol HCl, suatu senyawa yang bersifat analgesik dan terdapat pada shabu-shabu.

Diharapkan dengan diadakannya seminar ini, para akademisi serta masyarakat umum memiliki kesadaran dan tanggungjawab bersama untuk menjaga dan melestarikan kekayaan satwa Indonesia, khususnya trenggiling, yang tentunya diperlukan kerjasama antara elemen yang ada, menuju kedaulatan konservasi. Salam Lestari. [Iis, Himpro Satli FKH IPB]