15 April 2013. Workshop mengenai Evaluasi Persususan Jawa Barat telah berlangsung di Bandung pada Kamis (11/4). Workshop dihadiri oleh berbagai kalangan persusuan mulai dari pemerintah, akademisi, perusahan industri pengolahaan susu (IPS), Koperasi/KUD dan para peternak. Permasalahan yang didiskusikan yang ada pada saat ini meliputi populasi, produktivitas, biaya pakan, proporsi harga, impor, sistem recording dan genetik. Untuk mengatasi permasalahan di atas maka peserta workshop memberikan saran perbaikan dengan fokus pada 4 pilar yaitu: bibit, pakan, manajemen dan harga.

15 April 2013. Workshop mengenai Evaluasi Persususan Jawa Barat telah berlangsung di Bandung pada Kamis (11/4). Workshop dihadiri oleh berbagai kalangan persusuan mulai dari pemerintah, akademisi, perusahan industri pengolahaan susu (IPS), Koperasi/KUD dan para peternak. Permasalahan yang didiskusikan yang ada pada saat ini meliputi populasi, produktivitas, biaya pakan, proporsi harga, impor, sistem recording dan genetik. Untuk mengatasi permasalahan di atas maka peserta workshop memberikan saran perbaikan dengan fokus pada 4 pilar yaitu: bibit, pakan, manajemen dan harga.

Workshop menghadirkan para nara sumber, yaitu Prof Toto Toharmat dari Fapet IPB yang menyampaikan evaluasi strategi pengembangan persusuan di Jawa Barat;  Ir Achmad BD, MS dari Fapet UNPAD yang menyampaikan evaluasi lembaga persusuan; drh. Kurnia Achyadi, MS dari FKH IPB yang menyampaikan evaluasi bibit, manajemen produksi serta pakan, serta Dr. Despal, S.pt, MSc.Agr dari Fapet IPB yang menyampaikan evaluasi harga susu di Jawa Barat.

Dari hasil diskusi terungkap beberapa permasalahan dan kelemahan pada persusuan di Jawa Barat. Pertama, telah terjadi penurunan populasi sapi perah di Jawa Barat sekitar 1,5% per tahun sehingga produksi susu pun terus menurun. Sebagai penyumbang >30% produksi susu nasional, saat ini produksi susu Jawa Barat turun dari peringkat satu menjadi peringkat dua nasional di bawah produksi susu Jawa Timur. Produktivitas sapi perah peternak di Jawa Barat baru sekitar 14,7 L susu per ekor per hari masih sedikit di atas produktivitas sapi perah nasional sekitar 13,8 L susu per ekor per hari tetapi jauh di bawah produktivitas sapi perah yang dikelola pihak swasta di swasta bisa mencapai 20-25 L susu per ekor per hari.

Kedua, mengenai service per conception (S/C) 2,8 yang berarti dibutuhkan 2-3 kali inseminasi (IB) untuk menghasilkan kebuntingan. Nilai ini lebih rendah dari nilai S/C tingkat nasional  yaitu 2,6. Diharapkan bisa tercapai S/C yang baik dengan nilai di bawah 2.

Ketiga, hasil evaluasi biaya pakan menunjukkan 85,3% dari biaya produksi merupakan biaya pakan, dan  63% biaya pakan berasal dari harga bahan-bahan konsentrat. Akibat proporsi biaya pakan yang tinggi, peternak menurunkan pemakaian konsentrat yang berakibat pada penurunan kualitas pakan.  Penurunan kualitas pakan berdampak kepada penurunan kualitas susu tercermin dari kadar abu yang meningkat dan kadar protein susu yang menurun.

Keempat, harga susu di Jawa Barat sudah mencapai harga Rp 3.400 menyerupai harga susu internasional berkisar 3-4 ribu rupiah. Tetapi jika dilihat dari harga susu di konsumen sebesar Rp 11.000 per liter maka proporsi harga yang diterima peternak sangat rendah dibanding proporsi ideal 65% dari harga konsumen yang seharusnya diterima oleh peternak. Dengan demikian perbedaan yang tinggi antara harga konsumen dan harga di peternak maka keuntungan lebih banyak dinikmati oleh pihak industri.

Selanjutnya, permasalahan kelembagan persusuan ialah ketergantungan terhadap susu impor mencapai 70% dari kebutuhan nasional. Oleh karena itu pemerintah berencana bisa swasembada susu nasional pada 2020 yaitu mengurangi ketergantungan terhadap susu impor sampai dengan 50% kebutuhan nasional.

Terakhir, permasalahan terletak pada lemahnya sistem recording (pencatatan) dan mutu genetik dari bibit-bibit sapi perah yang ada saat ini. Apakah masih akan menggunakan breed FH atau mengganti dengan breed lain seperti Jersey (yang saat ini sudah terdapat di Tapos, Bogor) merupakan salah satu wacana untuk perbaikan mutu genetik.

Seluruh permasalahan di atas diperparah dengan penurunan populasi sapi perah akibat banyaknya sapi yang dijual untuk kebutuhan konsumsi daging akibat kenaikan harga daging yang sangat tinggi pada awal tahun ini. Dikhawatirkan populasi yang ada saat ini tidak lagi mampu mempertahankan apalagi meningkatkan produksi susu.

Empat Pilar Solusi Perbaikan Persusuan

Workshop juga mengusulkan perbaikan pada empat pilar, yaitu: bibit, pakan, manajemen dan harga. Bibit seyogyanya harus ditangani dan menjadi tanggung jawab pemerintah. Pada saat ini harga bibit sapi perah dara belum bunting sekitar 30-38 juta rupiah per ekor. Tentu dengan harga tersebut sulit untuk ditanggung oleh para peternak kecuali ada campur tangan dari pemerintah. Untuk pakan, saat ini telah ada undang-undang mengenai lahan yang selanjutnya sedang diproses peraturan menganai tata ruang di setiap kota dan kabupaten di Jawa Barat. Manajemen berfokus pada perbaikan produktivitas, sedangan masalah harga disarankan agar setiap Industri Pengolahan Susu (IPS) memiliki standar harga yang sama dalam membeli susu dari peternak, dan peternak diharapkan dapat meningkatkan standar kualitas susu yang dihasilkan.

Jika Blueprint Rencana Induk Peternakan yang telah disusun sampai dengan tahun 2045 dapat berjalan, maka diharapkan sebagian besar produk-produk pertanian sudah dapat berswasembada. [Trioso/Anto]