Bogor, 18 April 2013. Kejadian kasus avian influenza (AI, flu burung) pada manusia yang baru-baru ini terjadi di China telah dilaporkan disebabkan oleh virus H7N9. Virus tipe ini dapat menjangkiti unggas tanpa ada gejala yang berarti (subklinis) tetapi telah memakan korban mencapai 11 orang meninggal dunia dari kurang-lebih 51 kasus yang terdeteksi di China (per 14/4/2013 sumber: WHO). Meski belum terdapat di Indonesia dan tidak seganas H5N1 yang pernah mewabah sampai ke Indonesia, keberadaan virus H7N9 perlu juga diwaspadai. Berikut ulasan hasil wawancara dengan Prof I Wayan T Wibawan, guru besar FKH IPB mengenai virus AI ini.

 

Bogor, 18 April 2013. Kejadian kasus avian influenza (AI, flu burung) pada manusia yang baru-baru ini terjadi di China telah dilaporkan disebabkan oleh virus H7N9. Virus tipe ini dapat menjangkiti unggas tanpa ada gejala yang berarti (subklinis) tetapi telah memakan korban mencapai 11 orang meninggal dunia dari kurang-lebih 51 kasus yang terdeteksi di China (per 14/4/2013 sumber: WHO). Meski belum terdapat di Indonesia dan tidak seganas H5N1 yang pernah mewabah sampai ke Indonesia, keberadaan virus H7N9 perlu juga diwaspadai. Berikut ulasan hasil wawancara dengan Prof I Wayan T Wibawan, guru besar FKH IPB mengenai virus AI ini.

Avian influenza disebabkan oleh virus influenza A yang memiliki banyak varian antigen diantaranya 17 jenis antigen hemagglutinin (H1-H17) dan 9 jenis antigen neuraminidase (N1-N9). Virus AI tipe H7N9 pada unggas boleh dikatakan baru. Sebelumnya yang lebih dikenal terlebih dahulu ialah tipe H7N7 dan H7N3. Sedangkan H7N9 dikenal sebagai virus yang tidak terlalu ganas pada manusia tetapi pada unggas tidak menimbulkan gejala yang berarti (subklinis). Sampai saat ini H7N9 juga masih bersifat subklinis, unggas yang sehat dapat bertindak sebagai reservoir dan menyebarkan virus tanpa diketahui menderita gejala sakit. Virus ini sudah diketahui banyak terdapat pada burung merpati.

Sampai saat ini virus H7N9 telah memakan 11 korban manusia dari 51 yang positif terdeteksi, dan semua kasus ini terjadi di China, tersebar di tiga provinsi yaitu Anhui, Jiangzhu, dan Zhejiang; serta dua pusat kota yaitu Beijing dan Shanghai. Sebagaimana virus-virus AI tipe yang lain, penyebaran virus H7N9 bukanlah lewat udara, atau dari manusia ke manusia, tetapi harus ada kontak antara manusia dengan unggas, untuk kasus H7N9 ini ialah burung merpati.

Upaya Pencegahan Dini Masuknya Virus H7N9 ke Indonesia

Pemerintah telah merespon sedini mungkin untuk menghindari atau mencegah virus H7N9 ini. Seperti minggu lalu sudah ada larangan impor unggas dari negara tertular (termasuk China) yang dikeluarkan oleh Pemerintah Indonesia Cq. Kemtan yang tertuang dalam Permentan No.44/2013 tanggal 10 April 2013. Selain itu perlu berbagai tindakan pencegahan dini, yaitu melakukan survey yang bersifat aktif terhadap keberadaan antigen atau anti bodi virus H7N9 pada unggas-unggas di Indonesia. Survey dilakukan dengan mengestablishkan uji deteksi menggunakan RT-PCR (Reverse Transcriptase-Polymerase Chain Reaction) dengan menggunakan primer H7 dan N9 pada daerah-daerah “hot spot” yaitu di pasar-pasar unggas, pengepul dan wilayah-wilayah yang padat burung merpati. Teknologi ini sudah ada dan di Indonesia telah banyak lembaga yang memiliki alat dan kemampuan melakukannya, misal di balai-balai penelitian veteriner di daerah-daerah dan fakultas-fakultas kedokteran di seluruh Indonesia. Yang terpentig adalah kecepatan dalam melakukan tindakan survey.

Tindakan pencegahan dini lainnya ialah dengan cepat mengirim surat ke daerah-daerah untuk mengatur tindakan-tindakan yang perlu untuk mencegah H7N9 ini. Pemerintah dalam hal ini Kementan dan ahli-ahli terkait lainnya yang berana di Komnas Zoonosis tentu telah berpengalaman menghadapi situasi seperti ini ketika dulu Indonesia menghadapi wabah virus H5N1. Berikutnya pengaturan lalu lintas manusia (wisatawan) dari dan ke China, serta melakukan upaya pendeteksian dini di bandara-bandara internasional misal dengan melakukan pendeteksian suhu tubuh manusia yang masuk/keluar bandara.

Virus AI Sangat Mudah Bermutasi

H5N1 sampai saat ini masih merupakan tipe virus AI yang paling ganas, dengan tingkat kematian dapat mencapai 100%. Virus AI merupakan virus yang berasal dari unggas. Sejarah menyebutkan bahwa pada ratusan tahun yang lalu (1918) di Benua Eropa (dikenal sebagai flu spanyol) pernah terjadi pandemi dengan penyebabnya virus AI tipe H1N1. Virus H1N1 pada manusia pada waktu itu sangat luar biasa ganasnya.

Virus AI sangat mudah bermutasi. Keganasan virus AI terjadi jika berberapa virus mengalami pertukaran gen di dalam tubuh hewan reservoar. Setiap virus baru hasil mutasi akan mencoba untuk menyesuaikan diri pada sel inang yang baru dan tentu memerlukan waktu yang cukup lama. Dari genom-genom yang ada misalnya penyandi antigen H, N, atau PB1, PB2 dll memiliki peran dan kemampuan untuk saling tukar-menukar dan berpotensi menimbulkan keganasan. Percampuran genom terjadi di dalam tubuh spesies tertentu sebagai reservoar, misal di babi dan sejarah yang paling panjang ialah di manusia. Jadi sebenarnya pada babi atau manusia hanyalah bersifat sebagai tempat perakitan dan sebagai reservoar.

Pengendalian dan Vaksinasi AI

Pencegahan yang paling ideal adalah melakukan pemusnahan pada tempat-tempat yang baru mewabah. Tetapi jika sudah endemis seperti di Indonesia dan China, maka pemusnahan menjadi kurang efektif. Maka dengan berbagai pertimbangan, Indonesia memutuskan menggunakan vaksinasi untuk menggendalikan penyebaran AI tipe H5N1.

Terdapat keuntungan dan kerugian dari program vaksinasi AI pada unggas. Negara yang menggunakan vaksinasi AI pada unggas ialah  Mesir, China, Indonesia, Vietnam dan negara-negara di Timur Tengah. Vaksin yang digunakan berupa virus yang telah dimatikan. Unggas yang divaksinasi akan membentuk antibodi. Jika ada virus yang masuk maka antibodi yang telah terbentuk menyebabkan unggas tidak sakit tetapi virus yang masuk juga tidak semuanya dapat dieliminasi oleh tubuh unggas. Kemudian berikutnya masuk pula virus jenis kedua, atau ketiga. Lalu, virus-virus yang masuk bisa saling mengalami pertukaran gen dan unggas yang terinfeksi virus yang tetap sehat akan bertindak sebagai reservoar. Inilah yang bisa menyebabkan suatu saat terjadi ledakan keganasan virus AI tipe baru atau tipe lama yang bermutasi.

Indikator biologis pengendalian AI bisa menggunakan itik, ayam kampung, dan unggas liar. Keberadaan antigen virus atau antibodinya di unggas-unggas yang menjadi indikator biologis dapat digunakan untuk mengevaluasi pengendalian AI. Penelitian-penelitian yang telah dilakukan oleh para peneliti dari FKH IPB menunjukkan bahwa telah terjadi penurunan virus AI H5N1 yang terdeteksi pada unggas-unggas indikator ini yang menunjukkan keberhasilan program vaksinasi AI pada unggas di Indonesia.

Penyebaran virus AI pada itik, selain vaksinasi, pelarangan pengiriman DOD (itik umur satu hari) dari daerah tertular ke daerah bebas juga telah menurunkan virus atau antibodi yang terdeteksi. Selain itu vaksin AI H5N1 yang efektif untuk ayam ternyata juga efektif untuk vaksinasi pada itik. Beberapa perusahaan lokal seperti Vaksindo, Medion, IPB-Shigeta-Pusvetma, dan Capri (Sanbe), serta Sanbio telah mampu menghasilkan vaksin H5N1 dari isolat loal berdasarkan ketentuan yang telah ditetapkan oleh pemerintah.

FKH IPB melalui PT IPB-Shigeta merupakan pionir dalam menggunakan teknik  reverse-genetic untuk pembuatan vaksinnya. Pembuatan vaksin menggunakan cangkang dari virus H1N1 isolat PR (Puertorico) yang aman dan bersifat avirulen, kemudian antigen H1 diganti dengan H5 dengan menghilangkan virulensinya tetapi masih tetap bisa mengekspresikan antigen H5. Teknologi vaksin ini telah direkomendasikan oleh badan dunia sebagai vaksin yang paling aman. Jadi secara teknologi vaksin, Indonesia terutama PT IPB-Shigeta termasuk leader.

Dampak Ekonomi

Indonesia merupakan produsen unggas keenam terbesar di dunia. Saat ini produksi unggas hanya mensuplai kebutuhan dalam negeri. Padahal dulu sebelum kasus AI H5N1 mewabah, Indonesia telah mengekspor sebagian produk unggasnya ke luar negeri. Jadi secara ekonomi AI telah berdampak besar merugikan bagi bangsa Indonesia. [Iis/Anto]